Tampilkan postingan dengan label agrobisnis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agrobisnis. Tampilkan semua postingan

Mengunjungi Toli Toli Jelang Panen Raya Cengkeh


Berburu tanda tangan seorang clien, membawa saya untuk pertama kali ke Toli Toli, Sulawesi Tengah minggu lalu. Kunjungan singkat kali ini terasa istimewa karena berkesempatan memicu andrenalin di kawasan hutan Tinombala, menikmati ikan bakar khas Toli-Toli dan merasakan suasana kota itu menjelang panen raya cengkeh, yakni sekitar awal April ini. Sudah lama, wilayah yang memiliki luas wilayah 4.079.6 Km2 dengan jumlah penduduk sekitar 210.000 Jiwa ini dikenal sebagai penghasil cengkeh nomor wahid di Indonesia.


Sebetulnya dari Palu ada beberapa pilihan mencapai Toli-Toli. Dengan pesawat twin otter Merpati yang terbang sekali seminggu, hanya 30 menit saja sudah tiba. Jalur darat bisa melalui jalur Pantai Barat menyusur Selat Makassar atau Jalur Pantai Timur menyusur Teluk Tomini. Namun, Pantai Barat kurang populer. Selain lebih jauh (100 km), medannya berat, juga konon kurang aman bagi pengendara. Demikianlah, jalur Pantai Timur jadi pilihan utama, sekalipun juga tak kalah berat medannya. Sejauh pengalamanku, perjalanan ke Toli-Toli kali ini benar-benar mendebarkan.


Dengan menumpang armada Rental Lorenna saya meninggalkan Palu sekitar pukul 19.00 Wita.Karena memilih di jok depan, saya bayar ekstra Rp. 175 ribu. Menempuh Jalur Timur dengan kijang Inova baru dengan fasilitas AC dan full musik digital malam itu, tak kurang memicu andrenalin. Hanya berselang beberapa menit, kami sudah memasuki kawasan Kebun Kopi . Ruas jalan Kebun Kopi memiliki sekitar 300 tikungan terjal, menanjak hingga ke ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Jalur ini menjadi pilihan utama transportasi darat dari Palu menuju kota-kota lain di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan sebaliknya.

Penebangan liar menyebabkan jalur ini rawan longsor. Pengendara diimbau ekstra hati-hati karena kawasan perbukitan ini memiliki struktur tanah labil dan berjurang. Melintasi daerah keramat di jembatan di Uwentira malam hari, cukup membuat hati kecut. Untungnya, selepas Kebun Kopi, kami beristirahat menikmati sajian aneka menu di Warung Pinrang yang bersih di Toili, sebelum melanjutkan perjalanan menyusur pantai Teluk Tomini, lalu berbelok dan memotong Kota Raya.

Di kota Raya, sekali lagi kami berhenti. Tampak sudah banyak mobil rental tujuan Toli-Toli. Di warung Mbak (sebutan akrab untuk pemilik) itu, sopir-sopir rental tampak akrab. Suasana ini jarang terlihat di Makassar, Sulsel. Keakraban itu rupanya ada sebab. Mereka bersiap melintasi jalur maut, Pasir Putih.


Sejak meninggalkan daerah Kota Raya, jalan menanjak terus, dengan kondisi jalan berlubang sana sini. Saya ajak penumpang bercanda, tak ada tanggapan. Tampaknya semua orang menjadi tegang, dengan alasan yang segera saya akan tahu. Sopir yang saya ajak ngobrol menjawab sekenanya. "Mungkin konsentrasi karena jalanan rusak," kataku dalam bathin.


Kondisi jalan semakin rusak, dan memuncak saat kami tiba di jalur Pasir Putih di kawasan hutan pegunungan Tinombala. Terlihat barisan truk lagi mengantre. Malam pekat sekali. Mobil kami tiba-tiba berhenti sejenak sebelum mulai merayap pelan menuruni jalan terjal dan becek dalam gelap.


Rupanya inilah puncak Tinombala itu. Jalur terbilang sangat berbahaya, jalur terjal dengan kondisi jalanan yang selalu basah dan becek. Siapa pun pernah melewati jalur ini, akan merasakan beratnya jalan yang benar-benar memicu andrenalin ini. Saat menurun mobil hanya bisa merayap pelan, di saat mendaki harus tancap gas dengan resiko terpelanting. Hanya sopir berpengalaman saja yang berani melewati jalur ini.


Kabarnya, sudah berkali jalur ini diperbaiki, namun tak lama berselang material aspal lenyap tak berbekas. Di kawasan ini sejumlah orang bahkan berprofesi sebagai penarik mobil di lokasi tanjakan paling tajam di puncak Tinombala. Sekali menarik tarifnya bisa mencapai Rp. 500 ribu, tergantung hasil negosiasi. Biasanya, penumpang urun nyumbang. "Dari pada bermalam di sini, lebih milih bayar dan ikut narik pula," kata seorang penumpang yang sudah berkali melewati jalan ini.

Bisa dibayangkan, bila dalam sehari 100 unit mobil saja, kelompok ini sudah mengantongi jutaan rupiah. Hem.

Banyak yang menduga, rusaknya jalur itu karena ada unsur kesengajaan. Pegunungan Tinombala dicatat dalam sejarah kedirgantaraan karena menjadi lokasi jatuhnya pesawat Twin Otter milik Merpati tahun 1977. Konon, operasi penyelamatan penumpang oleh tim SAR adalah yang terbesar dan terkenal dalam sejarah Indonesia. Operasi Tinombala pun diabadikan sebagai sebuah film dan sampai sekarang kisah penumpang yang selamat dari Tinombala sering dijadikan inspirasi dalam latihan survival di Indonesia.


Kami tiba di Toli Toli sekitar pukul 07.00 pagi. Mimpi buruk seakan lenyap menyaksikan suasana kota pantai nan indah di pagi hari. Usai menuntaskan urusan tandatangan, Marthin, kawan saya mengajak makan ikan bakar di Tanjung Batu. Sambil menikmati sajian ikan bakar dengan aroma minyak kampung (kelapa) Marthin banyak cerita magisnya tiga pulau di depan kota Toli Toli, Lutungan, Kabeta, dan Simata. Yang paling keramat adalah Lutungan. Makam Raja Bantilan menjadi objek wisata ziarah di sana. Masyarakat setempat percaya, tiga pulau inilah yang menyangga dan mengawal Toli-Toli. Sebuah pesawat yang hendak mengebom Toli Toli dalam PD II jatuh tersunggur tak jauh dari Lutungan. Bangkainya kini menjadi rumah bagi ribuan ikan yang menyuplai kebutuhan masyarakat bahkan menjadi komoditas ekspor. Di sore hari sepanjang pantai Sandana (7 km) dari pusat kota, nelayan menggelar aneka ikan segar berukuran besar. Ikan di sini terasa lebih manis lagi gurih.

Nama Toli Toli konon berasal dari kata Totolu, yang berati tiga. Menurut mitos suku Toli Toli berasal dari 3 manusia langit yang turun ke bumi, Olisan Bulan, Bumbung Lanjat, dan Ue Saka. Nama Totolu berubah menjadi Tontoli sebagaimana dicatat dalam Lange-Contrack, 5 Juli 1858 ditandatangani wakil Belanda, Dirk Francois dengan Raja Bantilan Syaifuddin. Namun di tahun 1918 berubah menjadi Toli-Toli dan dicatat dalam dokumen Korte Verklaring, ditanda tangani Raja Haji Mohammad Ali. Nama itu bertahan hingga kini. Keturunan Raja Bantilan sejak masa reformasi banyak mengambil peranan dalam pemerintahan dan politik. Bupati saat ini, Ma'ruf Bantilan, juga keturunan Raja Bantilan. Dalam pilkada tahun ini, paling tidak 3 figur dari klan Bantilan akan ikut bertarung memperebutkan kursi Bupati.



Batal membawa saya mengunjungi Pantai Lalos yang konon terkenal karena keindahannya, Marthin mengajak saya keliling kota. Saya tertarik pada tuguh berbentuk buah Cengkeh yang berdiri seksi di tengah kota. Dari sana Marthin mengajak saya melayangkan pandangan ke bukit-bukit yang mengitari kota. Nyaris semua ditutupi pohon cengkeh. Dari kaki Panasakan samapai ke kaki Gunung Tuweley sekitar 28.000 hektar, terhampar perkebunan cengkeh. Tampak jelas bila cengkeh tengah berbuah lebat. Aroma khas Cengkeh pun mulai terasa.

Menurut Marthin, yang sehari-hari berdagang hasil bumi, 90% daerah pebukitan Toli Toli ditutupi areal pertanian cengkeh. Dalam soal cengkeh, wilayah ini layak diacungi jempol. Ketika harga cengkeh terjun bebas gara-gara kebijakan BPPC Tommy Suharto, para petani di sini tak membabat sama sekali cengkehnya, sebagaimana petani di daerah-daerah lain lakukan. Mereka beralih ke perkebunan coklat, dan kelapa serta padi di daerah yang lebih rendah. Demikianlah, hinggi kini Toli Toli tetap menjadi penghasil cengkeh terbesar dengan kualitas nomor satu di Indonesia. Perusahan-perusahan rokok besar, seperti Sampoerna, Gudang Garam, Jarum punya gudang-gudang penampungan cengkeh di sini.


Situs Pemda Toli Toli mencatat, dalam lima tahun terakhir hasil perkebunan cengkeh terus meningkat angkanya. Tahun 2002 dihasilkan 6.328 Ton, Tahun 2003 dihasilkan 1582 Ton, Lalu Tahun 2004 dihasilkan sekitar 1.604 Ton. Tahun 2005 sebanyak 2.245 Ton dan 2006 tetap tinggi yakni 2.133 Ton.

Jenis cengkeh yang paling banyak ditanam adalah zanzibar, seputih dan sikotok. Rata-rata produksi tertinggi sampai mencapai 8.000 Ton bahkan lebih.

Tahun ini, petani cengkeh bersiap panen raya lagi. Cengkeh berbuah lebat. Marthin bercerita, di masa panen,kota ini tiba-tiba menjadi sangat padat pendatang. Mereka datang dari berbagai daerah termasuk Sulbar dan Sulteng, sebagai pemetik cengkeh. Pada musim panen, dealer mobil dan motor kewalahan melayani pembeli. Dengan harga Rp. 30 ribu per-kilo, wajarlah para petani dan pemetik itu tiba-tiba berkantng tebal. Di masa itu, tingkat kejahatan pencurian dan perampokan meningkat.

Uniknya, perkebunan cengkeh di sini dikelola secara perorangan. Tak heran bila ada saja petani memiliki satu atau lebih bukit sekaligus di Toli-Toli.




Baca Sambungan :“Mengunjungi Toli Toli Jelang Panen Raya Cengkeh”

Potensi Emas Poboya yang Menggiurkan

Emas di Poboya  benar-benar menjadi magnit. Diperkirakan ratusan, bisa ribuan penambang, berikut penadah tengah mengadu untung di lokasi ini. Omzetnya pun gila-gilaan,  miliaran setiap harinya. Data tak resmi menyebutkan setiap harinya  puluhan  kilogram emas berhasil didulang, dengan kadar 40-60%. Harga jual pun fantastis, rata-rata Rp. 60-130 ribu per gram. Menjualnya tak sesulit mendulang. Di sekitar desa Poboya, para pembeli telah siap menggelontorkan uang untuk setiap gram emas, logam yang tak lekang nilai keasliannya sepanjang sejarah.Desa yang pernah melambung namanya karena menjadi lokasi eksekusi Fabianus Tibo cs (terpidana mati atas kasus kerusuhan Poso, kini kembali melambung bak meteor. Anda berminat datang?

Poboya
Poboya kini sebuah wilayah kelurahan di Kecamatan Palu Timur, Palu Sulawesi Tengah. Tak diketahui secara pasti sejak kapan orang-orang mulai menambang emas di kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Poboya ini. Penduduk setempat mengenalnya sebagai lokasi kegiatan anak-anak Pramuka.  Aktivitas mulai sesaat setelah sejumlah geolog yang dikirim PT Citra Palu Mineral/CPM (perusahaan patungan PMDN dan PMA) pada akhir tahun 1998 melakukan pengeboran pada beberapa titik di lahan konservasi ini. Mereka mengambil sampel tanah mengandung emas guna kepentingan uji laboratorium. Pada awalnya, hanya segelintir penduduk setempat yang mendulang emas. Pola penambangannya pun  terbatas, dan hanya mendulang di sekitar aliran Sungai Poboya.



Tak lagi Tidur

Kesunyian khas desa hilang sudah di Poboya. Wartawan Kompas melukiskan dengan tepat berikut ini. Jarum jam menunjukkan pukul 14.00 wita, Jumat (24/7/2009). Matahari terik. Cuaca panas ini tak membuat penambang emas di Kelurahan Poboya, Kota Palu, Sulawesi Tengah, beranjak dari tempatnya memecah batu. Sebagian mengaso sebentar, berdiri lagi, lalu mengambil martil dan linggis untuk kembali sibuk menggali tanah dan memecah batu. Poboya hampir tak pernah tidur. Sejak pagi hingga malam, suara pukulan martil dan linggis beradu dengan batu-batu keras hampir tak pernah berhenti. Truk, mobil bak terbuka, dan kendaraan roda dua hilir mudik mengangkut karung berisi batu menuju permukiman terdekat di Poboya berjarak sekitar 10 kilometer. Jalan tanah sempit dan berbatu menyeberangi sungai bukan hambatan. Di rumah-rumah penduduk di Poboya, aktivitas warga tak kalah sibuknya. Membongkar karung, memukul batu hingga setengah hancur, lalu menggiling dalam tromol menjadi pemandangan lazim di rumah warga. Di lokasi penambangan tidak memungkinkan mengoperasikan tromol. Di rumah penduduk, kepingan batu dicuci dengan air raksa (merkuri) untuk memisahkan butiran emas dari tanah. Namun, tak semua batu mengandung emas. Kerap terjadi, tak sebutir emas ditemukan meski berkarung-karung batu yang dihancurkan. Namun, jika nasib lagi baik, batu-batu yang digali dan dihancurkan berisi butiran emas.(Kompas.com)

Saat ini penambang emas tradisional di Poboya, sesuai data Dewan Adat Poboya, jumlahnya mencapai 2.000 orang, 1.500 di antaranya berasal dari luar Kota Palu, yakni dari Manado, Makassar dan Gorontalo.


Berkah Emas Poboya



Poboya kini bak tanah harapan bagi penambang yang kian banyak berdatangan. Warga setempat pun seperti tak hirau. Sebagian malah mendapatkan keuntungan dari sewa tanah yang kebetulan berada di areal penambangan. Sebagian mendapatkan penghasilan dari uang jasa keluar masuk areal pertambangan sebesar Rp 10.000 per orang, sewa tromol, atau buruh angkut. Di kota Palu, beberapa bulan terakhir, mulai munculusaha bengkel las baru, untuk keperluan para penambang. “Awalnya bengkel las kami hanya melayani pengerjaan las biasa. Tapi ada beberapa pelanggan yang ingin dibuatkan tromol. Kami tertarik dan mencoba membuat tromol dengan berbagai ukuran,” ujar Eman, seperti dikutip harian Mercusuar. Sejak maraknya penambangan rakyat di Poboya, bengkel las yang terletak di Jalan Veteran ini, telah banyak melayani pesanan pembuatan tromol yang dipakai "menangkap" bijih emas. Kini dalam sehari ia bisa menjual 10-20 tromol yang telah siap pakai dengan harga bervariasi. Untuk tromol ukuran 45 X 60 M, dengan ketebalan 12 mm, dihargai Rp2,15 juta. Sedangkan ukuran 50 X 60 tebal 15mm dijual dengan harga Rp2,3 juta. Selain itu, Eman juga menjual alat tumbu-tumbu yang berfungsi untuk menghaluskan batu yang mengadung emas, dengan harga Rp17,5 juta.(harianmercusuar.com).

Emas

Emas dalam bahasa Sanskrit jval, Yunani χρυσος = chrysos, Latin aurum, Inggeris kuno gold, telah diketahui sebagai sangat berharga sejak zaman prasejarah. Hieroglif Mesir (2600 SM) mengatakan logam dan emas ada dinyatakan beberapa kali dalam Perjanjian Lama (Ing. Old Testament). Penjelajahan orang Eropah (pada zaman penjelajahan Eropah) ke benua Amerika didorong kabar bahawa bahan hiasan emas digunakan secara bebas di kalangan orang asli Amerika, terutamanya di Amerika Tengah, Peru, dan Colombia.

Kredit foto;
eddypalu.blogspot.com/2009/08/tambang-emas-poboya
www.harianmercusuar.com/.../1353_big.jpg
Baca Sambungan :“Potensi Emas Poboya yang Menggiurkan”