Inilah Kamus untuk Memahami Orang Kaili di Sulawesi Tengah



Judul     :     Kamus Kaili Ledo – Indonesia – Inggris
Penulis     :     Donna Evan
Penerbit    :     Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Terbitan    :    2003
Tebal     :     544 Halaman
Alamat     :     P.T. Sehati Prima, Jakarta

ANDA tentu masih ingat benar, peribahasa nenek moyang kita: Bahasa menunjukkan bangsa. Dengan itu, hendak dikatakan bahasa membantu kita memahami alam pikiran, budaya sebuah suku bangsa. Hanya dengan memahami, kita bisa berkomunikasi, memahami orang lain, bahkan diri kita sendiri.
Hadirnya kamus Bahasa Kaili Ledo-Indonesia-Ingris dapat dikatakan sumbangan terbesar bagi masyarakat Kaili maupun mereka yang ingin mengenal Kaili.
Kaili adalah suku yang besar di daerah Sulawesi Tengah. Karena itu bahasa Kaili pun menjadi bahasa pengantar yang digunakan sehari-hari. Kamus Kaili Ledo, yang diterbitkan sekaligus dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, bisa jadi merupakan kamus terlengkap bahasa Kaili ini. Maka dari itu, kamus ini penting dimiliki, tidak hanya oleh para pecinta ilmu linguistik, tetapi juga masyarakat umum, terutama lagi mereka yang memiliki hubungan dengan Sulawesi, baik karena keluarga, bisnis, politik, dan lainnya.




SUKU Kaili sendiri mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.

Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise,Lasoani,Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi,Pandere, bahasa Edo (Pakuli,Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
Yang unik dari Bahasa Kaili Ledo ini adalah secara teks hampir mirip dengan Bahasa Spanyol atau Bahasa Filipina. Apakah ini menandakan bahwa Suku Kaili memiliki pertalian sejarah dengan kedua negara tersebut? Kiranya, untuk membuktikan hal ini maka penting mengkaji melalui Kamus Bahasa Kaili Ledo ini.Penulis kamus dengan jeli menambahkan kata Ledo setelah Kaili. Ini menjadikan kamus ini menjadi unik.

Bagi pembaca yang ingin memiliki kamus, ini silakan menghubungi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Sulawesi Tengah.

Baca Sambungan :“Inilah Kamus untuk Memahami Orang Kaili di Sulawesi Tengah”

Bali Setelah Beredar Film Cowboy in Paradise

Saya berkesempatan liburan ke Bali, awal Mei kemarin di saat Bali diguncang isu tak sedap: jadi surga bagi para gigolo, lelaki penghibur. Mengapa Pemda Bali kurang nyaman? Apa beda Tanjung Karang di Donggala dan Kuta?

Derai tawa Ni Kadek tak tertahankan di Bandara Ngurah Rai, saat saya bertanya soal Cowboys in Paradise. Gadis bali itu bekerja di salah satu konter layanan informasi hotel. Dengan keramahan khas Bali, ia memesankan hotel Santika di kawasan Kuta Bali.
Pak Putu, petugas taxi yang mengatar ke hotel bilang "Mas, soal gigolo itu, sudah rahasia umum di sini," kata dia. Dan, "Justru membuat banyak pengunjung karean penasaran."

Sejak Akhir April, bersamaan dengan beredarnya Cowboys in Paradise, Bali mendapatkan tumpahan turis yang semula hendak ke Thailand, yang tengah dilanda konflik politik.
Film dokumenter 'Cowboys in Paradise' bercerita tentang gigolo di pantai Kuta Bali. Film besutan sutradara asal Singapura, Amit Virmani, ini pun menuai kontroversial karena para pelaku yang disebut 'cowboys' dalam film ini membantah disebut sebagai gigolo.



Di sebuah situs, Amit menjelaskan panjang lebar mengenai film perdananya itu. Dia mengaku telah membuat riset saat berkunjung ke Bali, 2007 silam. "Saya tinggal selama sebulan di Bali dan banyak bertanya dan bertemu banyak orang," kata dia dalam laman itu. Dalam melakukan risetnya, Amit membawa kamera yang biasa dibawa turis untuk merekam sejumlah wawancara.
Film 'Cowboys in Paradise' besutan sutradara asal Singapura, Amit Virmani mampu menggemparkan Indonesia. Film dokumenter ini menuai kontroversi karena mengungkap sisi lain pariwisata Bali, gigolo.
Menurut pengakuan tiga pemuda pantai yang jadi pemeran film tersebut, Amit Virmani tak keluar banyak uang untuk membuat filmnya. Ada pemeran yang hanya dibayar Rp 150 ribu.
"Saya disuruh main surfing oleh Amit dan diberi uang Rp 150 ribu," kata Bima.

Sedangkan pengakuan Denis, seorang anak pantai asal Sumba, Sutradara Amit mengambil gambar aktivitasnya yang sedang bermain bola, secara sembunyi-sembunyi.
"Saya benar-benar tidak kenal Amit. Saat main bola, saya nggak tahu kalau direkam," kata Denis.

Film garapan sutradara asal Singapura keturunan India, Amit Vimani ini dibuat dari tahun 2007 hingga 2009.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Bali, Kombes Gde Sugianyar mengatakan, secara diam-diam Amit mengambil gambar aktivitas anak-anak pantai tersebut.

Tiga beach boys yang sudah diperiksa adalah Arnold, tokoh yang mengucapkan I Love You di pembuka film, Argo (dipijit oleh para wanita bule) dan Fendy (bermain gitar)

Yang terakhir diperiksa adalah Aan, salah satu beach boys yang datang dari kampung halamannya di Jawa Timur, memenuni panggilan Polisi. "Saya datang untuk memberikan keterangan yang dibutuhkan, meskipun saat ini ibu saya tengah dirawat di rumah sakit", kata Aan sebagaimana dikutip koran Bali Post.

Kuta dan Tanjung Karang

Kuta masih seperti biasa. "What can i do for you..," sapa beach boys yang bertelanjang dada kepada para turis di Kuta. Mereka menawarkan sovenir, kacamata, tatoo, layanan selancar serta snorkling.

"Kuta sempat sepi tiga hari," kata Dian, penjaja pakaian di kawasan Kuta. Itu pun karena pemda melakukan razia.

Kuta dan Tanjung Karang

Malam minggu saya menghabiskan waktu di Pantai Kuta. Pasir Kuta tak lebih baik dari pasir pantai Tanjung Karang di Donggala, yang lebih bersih, putih dan halus. Tetapi, sementara area pantai pasir Kuta dibiarkan kosong, di Donggala bangunan-bangunan merangsek hingga ke bibir pantai. Kini, sedikit saja ruang untuk sekedar berjemur sambil menikmati halusnya pasir Tanjung Karang, yang sensasinya tak kurang nikmat. Bila Pemda Donggala tidak menertibkan bangunan-bangunan itu, sulitlah mendatangkan turis ke sana.
Selain Togian di Teluk Tomini, Tanjung Karang menjadi andalan wisata Sulawesi Tengah, yang akan menjadi tuan rumah even wisata Kemilau Sulawesi 3, bulan Juni ini.


Di Kuta turis dengan bebas tetap menikmati matahari dengan berjemur di pantai pasir. Di belakang hotel Santika, selain ada kolam renang, taman yang asri, terdapat juga hamparan pantai berpasir putih tempat tetamu bisa minikmati berjemur.

Wisata Danau di Bedugul yang saya kunjungi dipenuhi pengunjung. Demikian juga di kawasan Ubud,turis-turis dengan santai berjalan kaki di sepanjang jalan. Saya mesti mengantri sebelum mendapat sekuntum bunga harum sebelum masuk Museum seni Maestro Antonio Blanco di Ubud.

Sekalipun Film Cowboys in Paradise mendatangkan lebih banyak turis, Pemda Bali tampaknya tidak tinggal diam. Bali memang tengah berusaha menghapus image sebagai destinasi wisata murah. Tentu saja, isu gigolo yang "murahan" dalam film kontroversial ini, dapat semakin memperburuk citra Bali. Baca Sambungan :“Bali Setelah Beredar Film Cowboy in Paradise”