Maesa Palu Butuh Perhatian Kita


MENCARI Maesa Palu di search engine, adalah bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Ia tenggelam entah di mana di antara ribuan entri serupa di google. Masihkah kita punya alasan mencintai Maesa?

Googling-lah keyword "maesa" sekarang. Anda akan menemukan setidaknya 435,000 item. Dari nama grup usaha penyelia sekaligus produsen produk kecantikan, nama camp gajah (Maesa Elephant Camp : Chiang Mai, Thailand), sebuah wilayah kabupaten (Maesa adalah salah satu kecamatan di Kota Bitung, Sulawesi Utara, Indonesia), nama orang ( Djenar Maesa Ayu nama penulis muda kenamaan Indonesia, (Julia Maesa nama seorang wanita Roma dari abad ke 10), sebuah museum (Thailand Maesa Museum), bahkan nama sejenis tumbuhan ( Maesa is a genus of plant in family Myrsinaceae.)


Jika maesa adalah,juga, nama sungai, itu pun bukan melulu milik kita, Sungai Maesa, sungai terbesar dan terpanjang di Palu. Di Thailand ada Maesa River, Maesa Waterfall, Maesa Valley, Maesa Museum, yang sudah jadi objek "wisata atraksi gajah" terbesar dunia. Okelah, kita masih punya Jalan Maesa, Kelurahan Maesa, dan Pasar Maesa, tetapi apa yang bisa membuatnya terkenal? Pasar Maesa memang sempat disebut-sebut di masa konflik Poso, namun perlahan surut sejalan berhentinya konflik.

Anda bisa bayangkan Maesa yang kita punya, (maksud saya Pasar Maesa, Jalan Maesa dan Sungai Maesa), berada di halaman ke berapa di mesin pencari.

Mengapa demikian? Tentu saja banyak alasannya. Kalau merujuk sistem kerja mesin pencari seperti Google, kata kunci yang paling sering dicari, paling sering ditulis, paling relevan dalam pencarian informasi, itu lah yang berada di peringkat paling atas.



Mengapa kita tidak sering mencari Maesa (punya kita)? Mengapa kita tak sering menulis tentang Maesa? Saya tak punya jawaban. Sebab, barulah saya tahu ada Sungai Maesa sejak ikut serta pada aksi nanam pohon di Maesa baru-baru ini.

Kesempatan itu benar-benar baik demi menemukan keunikan sungai terbesar dan terpanjang di Palu ini. Maesa membagi dua kota Palu, barat dan timur. Maesa mengalirkan ribuan kubik material ke teluk Palu tiap hari. Ia kadang-kadang mengamuk menyapu wilayah sekitarnya, namun lebih sering mengalir tenang. Sungai Maesa melepas aliran berikut material dari hulu ke hilir. Tak hanya itu, menyediakan dirinya tempat melepas buangan warga, termasuk hajat.

Di Maesa dibangun banyak jembatan yang menghubungkan dua kota, jembatan-jembatan itu menjadi simbol kebangaan kota. Orang-orang terpukau keindahan jembatan Palu, tetapi tak tertarik sungai di bawahnya. Maesa tak ikut menjadi simbol, tak turut jadi kebanggaan.

Banyak Yang Hilang

Barangkali karena banyak yang telah hilang dari sungai ini. Barangkali juga karena kita kurang memberi perhatian. Bayangkan, bila di sungai ini kita jadikan sarana rekreasi. Kita bisa menghabiskan waktu sengggang, melepas kepenatan, menikmati tiupan angin seraya menghirup udaranya yang segar.
Kalau sungai ini kita jadikan sarana olah raga. Kita bisa menyaksikan perlombaan-perlombaan olah raga air di sungai ini. Kalau sungai ini kita jadikan sarana transportasi. Kita bisa saksikan kapal-kapal nelayan berlabuh mengangkut ikan tangkapan, kapal-kapal tradisional mengangkut barang-barang kebutuhan rakyat. Kalau sungai ini kita jadikan sarana pasar, kita akan melihat pasar terapung yang luar biasa panjangnya.

Kalau semua itu jadi kenyataan, bolehlah kita bersaing misalnya dengan Maesa di Thailand di halaman teratas mesin pencari google dan berbagi ketenaran.


Maesa perlu perhatian kita. Ia perlu dijaga dari ancaman abrasi, selain ditanggul mesti dikeruk juga. Ia perlu dijauhkan dari ancamen polusi, sampah-sampah buangan kita, tidak langsung dibuang ke sungai untuk menjaganya tetap bersih. Maesa perlu kita hindarkan dari ancaman kekeringan. Hulu dan hilir mesti dihijaukan untuk menjaga kestabilan sumber air.


Think Green, Save earth, Save life
Sabtu, (4/12) komunitas Kaskus Regional Palu (KRP bagian dari Kaskus: the largest Indonesian Community) dengan Forum Jurnalis Peduli Lingkungan (bagian Ikatan Jurnalis Televisi di Palu) melaksanakan bakti lingkungan dengan thema Think Green, Save earth, Save life. Mereka menaman menanam 300 bibit pohon jenis trembesi, 50 pohon jenis mangga dan 50 pohon jenis mahoni di pinggiran Sungai Maesa. BPDAS yang mendukung kegiatan ini menyediakan seluruh bibit pohon (400) yang ditanam.

Tentu saja, ini sebuah langkah awal yang baik untuk menciptakan Maesa sebagai bagian dari Bumi Tadulako (Palu) yang hijau. Memasukkan Maesa dalam agenda komunitas seluas dan sebesar Kaskus juga langkah pertama menaikkan rating nama sungai Maesa yang tak terurus dan nyaris dilupakan.

Sebagai langakah awal, mesti diikuti langkah-langkah lain. Memelihara dan merawat pohon-pohon muda yang ditanam tak kalah penting. Kalau tidak, kita tidak punya alasan untuk menungu 1-2 tahun sampai masyarakat menikmati manfaatnya.

Singkatnya, Sungai Maesa layak kita cintai. Bukankah amukannya memberi kita pelajaran tentang kewaspadaan,ketenangannya mengajarkan kita ketenangan jiwa,dan alirannya yang tanpa henti mengajarkan kita konsistensi dan ketekunan? Baca Sambungan :“Maesa Palu Butuh Perhatian Kita”